Triliunan Dana Otsus Habis, Aceh Bangkrut?

Triliunan Dana Otsus Habis, Aceh Bangkrut?

0

Foto; Muhammad Nur SH, Aktivis SDA, Sosial dan Politik 

DUNIAPOTRET.COM | ASAL usul dana Otonomi Khusus (Otsus) Aceh UU No 2 tahun 2018 tentang perubahan kedua atas UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (MD3) serta UU No 11 tahun 2006 Tentang Pemerintah Aceh pasal 183 ayat (1) bahwa Dana Otonomi Khusus merupakan penerimaan Pemerintah Aceh yang bertujuan membiayai pembangunan, terutama pemeliharaan infrastruktur, pemberdayaan ekonomi rakyat Aceh, pengentasan kemiskinan, serta pendanaan pendidikan, sosial, dan kesehatan.

Selain itu pasal 183 ayat (2) menyebutkan bahwa dana Otonomi Khusus berlaku untuk jangka waktu 20 tahun saja, berdasarkan laporan Badan Akuntabilitas Keuangan Negara Dewan Perwakilan Rakyat Tahun 2020 menyebutkan penerimaan Aceh dari tahun 2008 hingga 2019 lalu sudah mencapai 73,325 triliun rupiah.

Kalau kita mau jujur, dana sebanyak itu tentu sudah mengalir kepada Pemerintahan di 23 kabupaten/kota, dan otomatis dana itu bukanlah dinikmati pada satu kelompok saja melainkan jamaah sudah mencicipinya termasuk kontraktor.

Sekarang kondisinya makin parah dimana dana Otsus hanya 3,9 triliun, sedangkan tahun 2022 lalu Aceh masih menerima 7,5 triliun.

Artinya kehilangan hampir 4 triliun bukanlah angka yang kecil bagi Aceh untuk membiayai berbagai kebutuhan mendesak atau rutinitas pemerintahan.

Sisi lain berbagai kegiatan melalui pokok pikiran para Anggota Dewan juga menyerap triliun rupiah, dimana rata-rata 15 persen dari total APBA setiap tahun yang harus dijadikan dana pokok pikiran para Dewan kita. Artinya ada 15 trilyun lebih telah mengalir ke Dewan.

Belum lagi dana itu juga mengalir pada tenaga kontrak/non PNS yang jumlah sumber daya manusianya mencapai 9 ribu orang lebih, tentu ini jadi beban pemerintah yang harus dipikirkan setiap tahunnya sumber dana yang jelas tanpa bermasalah dengan hukum.

Belum lagi soal dana yang harus disiapkan untuk pembiayaan berbagai kepentingan publik melalui tender paket proyek dengan jumlah lelang rata-rata mencapai 655 paket yang telah menghabiskan triliun rupiah setiap tahunnya.

Lalu kita kali 10 tahun terakhir tentu sudah habis dana Otsus kurang lebih 10 triliun hanya untuk paket pembangunan fisik maupun non fisik.

Sisi lain dinas Pemberdayaan Masyarakat Gampong atau kita kenal dengan (DPMG) menyatakan bahwa penerimaan dana desa sejak tahun pertama hingga tahun 2022 sudah mencapai 4,669 triliun rupiah dimana 99 persen lebih dana dikatakan habis atau bahasa lain sudah direalisasi.

Lalu kenapa Aceh masih menjadi daerah termiskin di Indonesia, padahal dana begitu banyak sudah mengalir ke Aceh dari Pemerintah Pusat, bahkan ada orang Aceh menyatakan pemerintah pusat masih belum tulus membantu Aceh.

Ini jadi masalah ketika kita menyimpulkan orang lain jahat pada kita, padahal bantuan terus mengalir ke rakyat Aceh melalui lintas pemerintahan (DPR-RI, DPD, DPRA, DPRK, Bupati/Wali Kota se-Aceh) hingga kepala desa.

Belum lagi pembiayaan berbagai infrastruktur seperti jalan tol, waduk, dan pusat olah raga dan bantuan lainnya secara fisik maupun tunai melalui program keluarga harapan (PKH).

Akibat salah urus

Tentu saya sebagai penulis miris melihat kondisi Aceh saat ini yang juga belum bangkit dari masalah kemiskinan dan keterpurukan sosial akibat salah urus dari tahun 2006 hingga 2022, lalu penjabat (orang Aceh) sebetulnya mengurus apa 17 tahun lalu.

Kenapa kemudian kita timpa satu masalah pada gubernur seorang, seolah yang lain merasa pahlawan membantu rakyat keluar dari masalah kemiskinan dan masalah lainya.

Apakah gejala sosial Aceh memang bermasalah melihat orang lain (ku-eeh) atau kita sudah terlena dengan gaya medsos seolah pengaruh menilai pada orang lain tergantung apa yang viral di medsos. Inti masalah ada pada diri kita jika kita mau jujur.

Pertama masalah itu ada pada setiap pejabat kita. Pejabat Aceh selalu menutup diri, taat ibadah padahal senang dengan korupsi.

Masalah kedua tak ikhlas melihat orang lain maju, masalah lain marah ketika bukan kelompok kita yang jadi penguasa suatu wilayah.

Yang timbul hanya kelompok mereka yang benar, padahal sama-sama membawa lari uang rakyat Aceh melalui berbagai strategi yang berlalu maupun masa akan datang.

Siapa jamin di antara kita hasil pemilu nanti gubernur/wakil gubernur dan wali kota/wakil wali kota yang terpilih tidak melakukan korupsi dan lebih jorok lagi, ketika calon sudah menghabiskan 50 hingga 100 miliar rupiah dalam mengejar jabatan itu.

Apakah mereka juga akan kita maki dan sumpah serapah.

Lalu bagaimana ketika berakhir dana Otsus untuk Aceh, apakah ada jaminan kita tidak berkonflik kembali atau siapa yang berani jamin Aceh aman dan tenang sentosa?

Maka saya memberikan semacam pandangan bahwa maju dan mundurnya suatu wilayah tergantung masyarakatnya dan pemimpinnya dalam melihat suatu peluang dari berbagai sudut pandang.

Misalkan dari aspek investasi perikanan, kelautan, perkebunan, pertambangan dan lain sebagainya merupakan suatu keniscayaan yang harus di garap kembali.

Lalu dari postur anggaran juga harus diubah ke arah yang menjawab tantangan masa depan, bahwa kita semua butuh sandang, papan dan pangan merupakan sesuatu yang pasti perlu kita urus dari sekarang.

Konsep perbaikan harus kita munculkan dari berbagai aspek, jangan menggunakan cara-cara yang keliru asal ada bagian sudah beres.

Tapi harus bisa memberikan pada perubahan yang real yang dapat menghidupkan jangka panjang bagi masyarakat Aceh sehingga semua kita bisa merasakan perubahan yang nyata.

Perbanyak bisnis

Jangan terlena ketika para perangkat gampong dapat gaji dari wali kota atau dana desa, karena gaji akan berakhir seiring program berakhir.

Begitu pun pejabat seperti kepala dinas jangan juga berpikir sempit hanya mengumpulkan cuan.

Para pemain di kancah politik juga diharapkan tidak hanya berbagi dengan koleganya saja demi mengamankan suara untuk dipilih lagi.

Bayangkan dana 4 triliun yang hilang saat ini dapat kita ambil kembali sebagai modal membangun dan membiayai berbagai bisnis daerah.

Berapa banyak usaha yang bisa digerakkan oleh Pemerintah Aceh bersama kepala daerah yang wilayahnya kaya potensi, dan berbagai pintu dibuka dengan berbisnis dengan provinsi lain bahkan lintas negara melalui perdagangan Internasional dan Nasional.

Ada kendala soal dana Otsus tidak bisa dipakai untuk membangun ketahanan ekonomi saya rasa bisa diubah dengan pendekatan lobi dan perubahan kebijakan negara demi kemajuan wilayah khusus seperti Aceh.

Atau minta pada pemerintah pusat melalui BUMN untuk memperbanyak bisnis di Aceh sehingga Aceh dapat maju dengan berbagai usaha baru.

Jika tidak segera dilakukan, maka selama itulah semua kita akan terjebak dengan dana APBA-ABPK, Otsus dan sumber dana lainnya dikuras untuk memperkaya diri dan kelompoknya saja.

Pada akhirnya Aceh kembali bergejolak karena sibuk menyalahkan suku lain salah dalam memimpin negeri.

Padahal kita sendiri terlena dengan ide kita yang merasa benar, sehingga menyalahkan orang lain. Tgk Kasem menyatakan orang lain cerdas tidak kita akui. Kita yang bodoh pun tidak tahu diri. Itulah kondisi kita saat ini.


Oleh Muhammad Nur SH

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*