MARI "BERHALALBIHALAL" UNTUK MEMPERKUAT UKHWAH KARENA ALLAH SWT

MARI "BERHALALBIHALAL" UNTUK MEMPERKUAT UKHWAH KARENA ALLAH SWT

0
HALALBIHALAL adalah tradisi keagamaan yang ada di Nusantara. Disebut tradisi keagamaan karena tradisi merupakan hasil dari proses kreatif umat Islam, khususnya para ulama Nusantara untuk mengekpresikan spirit dan ajaran Islam yaitu silaturrahmi dan bermaaf-maafan di hari raya Idulfitri.

Perintah memaafkan kesalahan ini jelas tertulis dalam Al-Qur’an, di antaranya: “….. Maka Maafkanlah dan berlapang dadalah, sampai Allah memberikan perintah-Nya. Sungguh Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. Al-Baqarah; 109). “Orang-orang yang bertaqwa adalah orang yang mau berinfak, baik dalam keadaan lapang maupun sempit, dan orang-orang yang mampu menahan amarahnya dan memberikan maaf atas kesalahan orang lain.

Dan Allah mencintai orang-orang yang berbuat kebaikan (QS. Ali Imran; 134). “Engkau (Muhammad) senantiasa akan melihat pengkhianatan dari mereka kecuali sekelompok kecil di antara mereka, maka maafkanlah mereka dan biarkanlah mereka. Sesungguhnya allah menyukai orang-orang yang berbuat baik” (QS. Al-Maidah; 13). Juga hadis Nabi yang menyatakan : “Barangsiapa memaafkan saat dia mampu membalas, maka Allah memberinya maaf pada hari kesulitan” (HR Ath-Tabrani).

Selain memaafkan, Islam juga memerintahkan umatnya untuk bersilaturahmi. Sebagaimana disebutkan dalam hadis, dari Abu Hurairah RA, Nabi SAW bersabda: “barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia memuliakan tamunya. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaknya dia menyambung silaturrahmi. Dan barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir hendaknya dia berkata baik atau diam” (HR. Bukhari). Hadis yang lain menyebutkan, dari Ibn Syihab dia berkata, telah mengabarkan kepadaku Anas Bin Malik bahwa Rasullullah SAW bersabda : “Barang siapa ingin dilapangkan pintu rezekinya dan dipanangkan usianya, hendaknya dia menyambung tali silaturrahmi” (HR. Bukhari).

Dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an dan hadis tersebut merupakan perintah yang bersifat normatif dan umum, artinya tidak ada keterangan mengenai petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis) yang jelas dan rinci bagaimana bentuk, format dan prosedur pemberi maaf dan bersilaturahmi dilakukan, kapan dilaksanakan dan pada saat apa. Ini berbeda dengan shalat, puasa ramadhan, zakat maupun haji yang ada juklak dan juknis pelaksanaan dan ketentuan waktu yang jelas.

Para ulama menggolongkan ibadah (pelaksanaan perintah Allah), yang ada juklak, juknis dan ketentuannya secara jelas dan rinci seperti shalat fardlu, puasa, haji dan zakat sebagai ibadah mahdlah. Sedangkan ibadah-ibadah yang tidak ada juklak juknisnya secara jelas, seperti silaturrahmi dan memberi maaf ini sebagai ibadah ghairu mahdlah.

Karena tidak ada ketentuan yang baku baik dari segi teknis pelaksanaan maupun waktunya, maka ibadah ghairu mahdlah ini dapat dilaksanakan kapan saja, di mana saja dan dalam bentuk apa saja. Dengan kata lain ada ruang bagi umat Islam mengembangkan kreativitas untuk menciptakan dan menggunakan tradisi sebagai ekspresi menjalankan dan mengaktualisasikan perintah dan ajaran agama. Dengan cara ini ajaran agama menjadi hidup karena selalu kontekstual di setiap waktu dan tempat.

Mengapa tradisi halalbihalal tersebut munculnya pada saat hari raya Idulfitri? Bukankah memaafkan dan silaturrahmi dapat dilakukan setiap saat tanpa menunggu datangnya Idul Fitri? Karena ada salah satu hadis yang menyatakan bahwa Idulfitri adalah saat umat Islam bersuka cita memeriahkan hari kemenangan.

Sebagaimana dinyatakan Nabi dalam salah satu hadis yang diceritakan oleh Siti Aisyah. Saat itu ada dua gadis Anshar yang sedang bernyanyi di rumah Nabi saat hari raya Idulfitri. Kemudian Abu Bakar masuk dan marah sambil berseru “Ada alat setan di rumah Rasulullah” mendengar pernyataan Abu Bakar, Nabi berkata : “Ya Abu Bakar, tiap orang punya festival untuk merayakan kebahagiaan dan ini (Idul Fitri) adalah perayaan kita” (HR. Ibnu Majah).

Hadis inilah yang dijadikan pijakan para ulama Nusantara untuk membuat perayaan Idulfitri dan menjadikannya sebagai momentum untuk bersilaturahmi dan bermaaf-maafan. Memang silaturahmi dan bermaafan bisa dilakukan setiap saat, kapan pun dan dalam suasana apapun bisa dilakukan.

Namun memanfaatkan perayaan Idulfitri sebagai momentum bersilaturahmi dan saling memaafkan adalah hal baik yang tidak bertentangan dengan ajaran agama. Dari sinilah muncul tradisi halalbihalal dan mudik lebaran sebagai instrumen mengamalkan ajaran agama, silaturahmi dan bermaaf-maafan.

Tidak ada keterangan jelas sejak kapan tradisi halalbihalal ini terjadi. Siapa penggerak dan penciptanya. Beberapa sumber menyebutkan bahwa tradisi halalbihalal ini diciptakan oleh KH. Wahab Chasbullah sebagai upaya melakukan rekonsiliasi umat Islam yang mengalami friksi akibat perpedaan pandangan politik pasca Kemerdekaan.

Beberapa sumber menyebutkan tradisi halal bi halal bermula dari tradisi pisowanan yang terjadi pada zaman mataram Islam, yaitu saat para adipati dan punggawa kerajaan yang ada di daerah menghadap Sultan untuk memberikan laporan dan upeti yang dilakukan setahun sekali. Tradisi inilah yang kemudian diadopsi para ulama Nusantara menjadi halalbihalal.

Tanpa mengabaikan siapa inisiator dan kreator tradisi halal bi halal, Pertama, yang jelas tradisi ini merupakan bentuk kreativitas para ulama Nusantara dalam mengamalkan dan menanamkan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakat. Kreativitas menciptakan tradisi ini tidak ada kaitan dengan mengubah ajaran atau akidah yang dapat menyebabkan seseorang tergeincir dalam syirik, kufur atau murtad. Sebaliknya hal ini justru dilakukan untuk memperkuat akidah.

Mengapa demikian? Karena penciptaan tradisi ini hanya pada tataran pengamalan ajaran bukan pada hal-hal yang terkait dengan akidah. Kedua, hal ini juga dilakukan pada aspek ibadah ghairu mahdlah yang tidak ada juklak, juknis dan ketentuan rinci dalam pelaksanaan. Ketiga, melalui tradisi ini ajaran Islam menjadi mudah diamalkan dan diterima. Jadi tidak ada kaitannya dengan upaya menambah-nambah ibadah atau merubah ajaran.

Melalui cara-cara kultural seperti ini, ajaran Islam tidak hanya membawa manfaat pada umat Islam tetapi juga kepada umat lain sehingga Islam, pertama, sebagai rahmatan lil’alamin benar-benar dapat dirasakan secara nyata oleh semua umat manusia. Kedua, melalui proses kreatif seperti ini wajah Islam menjadi lebih menarik dan ramah, sehingga dapat menumbuhkan rasa simpati semua orang terhadap Islam. Melalui tradisi halalbihalal, wajah Islam yang garang, mudah marah dan menakutkan bisa dieliminir sehingga kesan Islam sebagai agama kekerasan, arogan dan penebar kebencian dapat dihilangkan.

Proses kreatif menciptakan tradisi dengan memanfaatkan berbagai momentum perayaan hari besar agama sebagaiamana yang telah dilakukan oleh para ulama Nusantara inilah yang mesti dilakukan oleh umat Islam saat menghadapi berbagai tekanan dan tantangan kekinian. Melalui tradisi halabihalal bisa dapat melihat bagaimana para ulama Nusantara beragama secara kreatif sehingga beragama menjadi terasa indah, nyaman dan damai. Cara beragama yang kreatif akan membuat agama jadi menarik dan terasakan manfaatnya secara nyata.

Umat Islam tidak perlu khawatir dengan tudingan bid’ah, syirik dan khurafat, hanya karena menggunakan cara kreatif dalam mengamalkan dan mengaktualisassikan ajaran agamanya. Ketakutan atas berbagai tudingan tersebut hanya akan membuat umat Islam menjadi jumud, beku dan kaku. Umat Islam perlu menciptakan dan mensyiarkan bid’ah, sebagaimana yang dilakukan oleh para wali dan ulama Nusantara. Karena terbukti melalui bid’ah bangsa Nusantara dapat memperoleh hidayah, berkat bid’ah pula bangsa ini dapat memperoleh berkah, ya tentu saja Bid’ah Hasanah, Subhanallah… Allahu Akbar.

Oleh : T.M. Jamil, Dr. Drs, M.Si Associate Profesor
(Akademisi - pada Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh)

Sagoe Peureulak Timur, 02 Syawal 1445-H

Posting Komentar

0Komentar

Please Select Embedded Mode To show the Comment System.*